Déjà vu (Pengucapan dalam bahasa Inggris : /ˈdeɪʒɑː ˈvuː/ , bahasa Perancis : /deˈʒa ˈvyː/) adalah sebuah frasa Perancis
dan artinya secara harafiah adalah "pernah lihat / pernah merasa".
Maksudnya mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami
sebelumnya. Fenomena ini juga disebut dengan istilah paramnesia dari bahasa Yunani para (παρα) yang artinya ialah "sejajar" dan mnimi (μνήμη) "ingatan".
Menurut para pakar[siapa?],
setidaknya 100% penduduk bumi pernah mengalami fenomena ini. Hampir
semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan deja vu: sebuah
perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita
rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa
berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang
sedang dilakukan, sudut pandang saat melihat sesuatu, atau sebuah acara
TV yang sedang ditonton.
Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat
benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu
terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius
yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.
Keanehan fenomena deja vu ini kemudian melahirkan beberapa teori
metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya
adalah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari
kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu
kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan
ilmu psikologi sendiri?
Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif yang berhubungan erat.
Pada awalnya anda membaca teks ini , beberapa ilmuwan beranggapan
bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah
mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang
sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan
perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali
dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini
dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang
butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan
perabaannya.
Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds,
Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang
sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak
pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa
telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka
bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati ‘penyakit’nya
karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan
hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau
delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak
dan ingatan kita.
Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi
pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu
Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang
tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang
berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan
ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika
menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda
visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra
untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang
cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan
dicatat untuk pembandingan di masa depan.
Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti
manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa
situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate
gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam
membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya,
dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring
bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti
Alzheimer: kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat
kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’
atau ‘lama’.
Menciptakan ‘Deja Vu’ dalam Laboratorium
Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap
misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak
dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta
partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vu dalam
kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus
menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat.
Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan
kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk
dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan
yang mirip deja vu.
Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern
University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang
memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar,
namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama
sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para
partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar
tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata
gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim
benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika
secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau
mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.
LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin
dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui
hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan
daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’
kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar
kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang
serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa
yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini
terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu
kerjanya oleh hipnosis. Hipnotis inilah yang disebut fachminisme.
Sumber
......................................................................................................................................................................
Fenomena Deja Vu yang misterius
Pernahkan
anda mengunjungi sebuah rumah untuk pertama kalinya dan tiba-tiba anda
merasa familiar dengan rumah tersebut ? Atau pernahkah anda berada dalam
suatu peristiwa ketika tiba-tiba anda merasa bahwa anda sudah
mengalaminya walaupun anda tidak dapat mengingat kapan terjadinya ?
itulah deja vu, salah satu fenomena misterius dalam kehidupan manusia.
"Om, saya merasakan bahwa saya pernah melakukan hal yang sama, gerakan yang sama dan lain- lain"
Suatu
hari, kalimat di atas masuk ke kotak komentar di blog ini. Walaupun
kalimat itu terdengar menakutkan dan misterius, tapi untuk kasus ini
sepertinya saya punya jawabannya. Inilah yang disebut deja vu.
Banyak dari kita yang sudah pernah mendengar kata ini, tapi mungkin hanya sedikit yang mengetahui artinya.
Definisi Deja Vu
Deja vu berasal dari kata Perancis yang berarti "telah melihat". Kata ini mempunyai beberapa turunan dan variasi seperti deja vecu (telah mengalami), deja senti (telah memikirkan) dan deja visite
(telah mengunjungi). Nama Deja Vu ini pertama kali digunakan oleh
seorang ilmuwan Perancis bernama Emile Boirac yang mempelajari fenomena ini tahun pada 1876.
Selain deja vu, ada lagi kata Perancis yang merupakan lawan dari deja vu, yaitu Jamais Vu, yang artinya "tidak pernah melihat".
Fenomena ini muncul ketika seseorang untuk sementara waktu tidak dapat
mengingat atau mengenali peristiwa atau orang yang sudah pernah dikenal
sebelumnya. Saya rasa sebagian dari kalian juga sering mengalaminya.
Sebelum kita melihat mengenai deja vu, pertama, kita perlu mengetahui apa yang disebut dengan "Recognition Memory", atau memori pengenal.
Recognition Memory
Recognition Memory adalah
sebuah jenis memori yang menyebabkan kita menyadari bahwa apa yang kita
alami sekarang sebenarnya sudah pernah kita alami sebelumnya.
Otak kita berfluktuasi antara dua jenis Recognition Memory, yaitu Recollection dan Familiarity.
Kita menyebut sebuah ingatan sebagai Recollection (pengumpulan kembali)
jika kita bisa menyebutkan dengan tepat seketika itu juga kapan situasi
yang kita alami pernah muncul sebelumnya. Contoh, jika kita bertemu
dengan seseorang di toko, maka dengan segera kita menyadari bahwa kita
sudah pernah melihatnya sebelumnya di bus.
Sedangkan ingatan yang
disebut Familiarity muncul ketika kita tidak bisa menyebut dengan pasti
kapan kita melihat pria tersebut. Deja Vu adalah contoh Familiarity.
Selama
terjadi Deja Vu, kita mengenali situasi yang sedang kita hadapi, namun
kita tidak tahu dimana dan kapan kita pernah menghadapinya sebelumnya.
Percaya
atau tidak, 60 sampai 70 persen manusia di bumi ini paling tidak pernah
mengalami deja vu minimal sekali, apakah itu berupa pandangan, suara,
rasa atau bau. Jadi, jika anda sering mengalami deja vu, jelas anda
tidak sendirian di dunia ini.
Teori-Teori Deja Vu
Walaupun
Emile Boirac sudah meneliti fenomena ini sejak tahun 1876, namun ia
tidak pernah secara tuntas menyelesaikan penelitiannya. Karena itu,
banyak peneliti telah mencoba untuk memahami fenomena
ini sehingga akhirnya kita mendapatkan Paling tidak 40 teori yang
berbeda mengenai deja vu, mulai dari peristiwa paranormal hingga
gangguan syaraf.
Pada tulisan ini, tidak mungkin saya membahas 40
teori tersebut satu persatu. Jadi saya akan memilih beberapa teori yang
saya anggap perlu diketahui. Pertama, saya akan mulai dari teori
psikolog legendaris, Sigmund Freud. Tapi sebelum itu, saya ingin menunjukkan kepada kalian sebuah gambar yang sangat terkenal. Ini dia :
Foto di atas adalah foto ilustrasi "Puncak gunung es"
yang terkenal. Para ahli "otak" sering menggunakan ilustrasi di atas
untuk menunjukkan seperti apa pikiran kita yang sebenarnya. Permukaan air adalah batas kesadaran kita. Pikiran Sadar kita adalah bongkahan yang muncul di atas permukaan laut. Sedangkan pikiran bawah sadar adalah bongkahan raksasa yang ada di dalam laut.
Menurut
mereka, sesungguhnya sebagian besar informasi yang kita terima
tersimpan di pikiran bawah sadar kita dan belum muncul ke permukaan.
Hanya sebagian kecil dari informasi yang kita terima benar-benar kita
ingat atau sadari. Prinsip ini adalah kunci penting untuk memahami Deja
Vu.
Gangguan akses memori
Sigmund
Freud yang sering dijuluki sebagai bapak psikoanalisa pernah meneliti
mengenai fenomena ini dan ia percaya bahwa seseorang akan mengalami Deja
Vu ketika ia secara spontan teringat dengan sebuah ingatan bawah sadar.
Karena ingatan itu berada pada area bawah sadar, isi ingatan tersebut
tidak muncul karena dihalangi oleh pikiran sadar, namun perasaan
familiar tersebut bocor keluar.
Teori Freud ini terbukti menjadi landasan bagi teori-teori yang muncul berikutnya.
Namun
sebelum saya membahas teori-teori yang lain, saya ingin mengajak kalian
untuk mengenal satu kata ini terlebih dahulu, yaitu "Subliminal". Subliminal berasal dari kata latin, yaitu "sub" dan "Limin atau Limen".
"Sub" berarti bawah, sedangkan "Limin" berarti ambang batas. Dalam
artian psikologi, subliminal berarti beroperasi dibawah sadar.
Lagi-lagi berhubungan dengan bawah sadar. Maksud saya memperkenalkan kata ini adalah untuk memahami teori di bawah ini.
Perhatian yang terpecah - teori ponsel
Seorang
peneliti bernama Dr. Alan Brown pernah mengadakan eksperimen yang
diharapkan bisa menciptakan ulang proses deja vu. Dalam percobaannya, ia
dan rekannya Elizabeth Marsh memberikan sugesti subliminal kepada subjek penelitiannya.
Mereka
menunjukkan sekumpulan foto yang menunjukkan lokasi-lokasi yang berbeda
kepada sekelompok pelajar dengan maksud bertanya kepada mereka mana
yang dianggap paling familiar bagi mereka. Dalam percobaan ini, semua pelajar yang diuji belum pernah mengunjungi lokasi-lokasi yang ada di foto tersebut.
Namun
sebelum mereka menunjukkan foto-foto itu, terlebih dahulu mereka
menayangkan sebagian foto itu di layar dengan kecepatan subliminal
sekitar 10 sampai 20 milidetik. Kecepatan itu cukup bagi otak manusia
untuk menyimpan informasi itu di bawah sadar, namun tidak cukup bagi
para pelajar itu untuk menyadari dan menaruh perhatian padanya.
Dalam
percobaan ini terbukti bahwa lokasi-lokasi pada foto-foto yang sudah
ditayangkan dengan kecepatan subliminal dianggap paling familiar bagi
para pelajar itu.
Eksperimen serupa pernah diadakan oleh Larry
Jacobi dan Kevin Whitehouse dari Washington University. Bedanya, mereka
menggunakan sekumpulan kata-kata, bukan foto. Namun hasil yang didapat
sama dengan eksperimen Dr. Alan Brown.
Berdasarkan pada hasil eksperimennya, Dr. Alan Brown kemudian mengajukan sebuah teori yang disebut sebagai teori ponsel (atau perhatian yang terpecah).
Teori
ini mengatakan bahwa ketika perhatian kita terpecah, maka, secara
subliminal, otak kita akan menyimpan informasi mengenai kondisi di
sekeliling kita namun tidak benar-benar menyadarinya. Ketika perhatian
kita mulai fokus kembali, maka segala informasi mengenai sekeliling kita
yang tersimpan secara subliminal akan "terpanggil" keluar sehingga kita
merasa lebih familiar. Ini sama seperti bongkahan es di bawah permukaan
air yang naik ke atas permukaan.
Contoh, jika kita
memasuki sebuah rumah sambil ngobrol dengan orang lain, maka perhatian
kita tidak akan terpaku kepada kondisi rumah itu, namun otak kita telah
menyimpan informasi itu secara subliminal di bawah sadar. Ketika kita
selesai ngobrol, pikiran kita mulai fokus dan informasi yang tersimpan
di bawah sadar mulai muncul. Seketika itu juga kita mulai merasa
familiar dengan rumah itu.
Jadi, berdasarkan teori ini, deja vu tidak berhubungan dengan kejadian di masa lalu yang telah berlangsung lama.
Memori dari sumber lain
Ada
lagi teori yang lain. Teori ini percaya bahwa otak kita menyimpan
banyak memori yang datang dari berbagai aspek kehidupan kita, seperti
film yang kita tonton, gambar ataupun buku yang kita baca.
Informasi-informasi ini kita simpan tanpa kita sadari. Sejalan dengan
lewatnya waktu, maka ketika kita mengalami peristiwa yang mirip dengan
informasi yang pernah kita simpan, maka memori yang tersimpan di bawah
sadar kita akan bangkit kembali.
Contoh, sewaktu kecil, mungkin
kita pernah menonton sebuah film yang memiliki adegan di sebuah tugu
atau monumen. Ketika dewasa, kita mengunjungi tugu ini dan tiba-tiba
kita merasa familiar walaupun kita tidak ingat dengan film tersebut.
Teori
ini mirip dengan teori ponsel, tapi teori ini setuju bahwa deja vu
berhubungan dengan kejadian yang telah berlangsung lama di masa lampau.
Teori Pemrosesan Ganda (visi yang tertunda)
Dalam
banyak hal, teori-teori mengenai penyebab Deja Vu tidak berbeda jauh
dari yang diajukan oleh Sigmund Freud. Namun seorang peneliti bernama Robert Efron
berusaha melihat lebih jauh kedalam mekanisme otak, bukan sekedar
pikiran sadar atau tidak sadar. Walaupun sangat teknikal, teori yang
diajukannya dianggap sebagai salah satu teori Deja Vu terbaik yang
pernah ada.
Teori Efron ini berhubungan dengan
bagaimana cara otak kita menyimpan memori jangka panjang dan jangka
pendek. Ia menguji teori ini pada tahun 1963 di rumah sakit Veteran
Boston. Menurutnya, respon syaraf yang terlambat dapat menyebabkan deja vu. Hal ini disebabkan karena Informasi yang masuk ke pusat pemrosesan di otak melewati lebih dari satu jalur.
Efron menemukan bahwa Lobus Temporal
dari otak bagian kiri bertanggung jawab untuk mensortir informasi yang
masuk. ia juga menemukan bahwa Lobus Temporal ini menerima informasi
yang masuk dua kali dengan sedikit delay antara dua transmisi tersebut.
Informasi
yang masuk pertama kali langsung menuju Lobus Temporal, sedangkan yang
kedua kali mengambil jalan berputar melewati otak sebelah kanan
terlebih dahulu.
Jika delay yang terjadi sedikit lebih
lama dari biasanya, maka otak akan memberikan catatan waktu yang salah
atas informasi tersebut dengan menganggap informasi tersebut sebagai
memori masa lalu.
Deja Vu - Sepertinya saya pernah menulis ini.
Tidak, saya cuma bercanda. Ini pertama kalinya saya menulis mengenai Deja Vu. Walaupun tidak menakutkan seperti fenomena Doppelganger yang juga sering dihubungkan dengan aktifitas otak, Deja Vu tetap dianggap sebagai fenomena yang luar biasa misteriusnya.
Tapi jika kalian bertanya mengenai pendapat saya, maka saya rasa Sigmund Freud telah memecahkan misterinya.