Di
Minggu pagi yang cerah ketika orang-orang asik menikmati waktu
liburannya. Abu Nawas hanya tertunduk sedih mendengarkan penuturan
istrinya soalnya beberapa pekerja kerajaan atas titah langsung Baginda
Raja, membongkar rumah dan terus menggali tanpa bisa dicegah. Kata
mereka tadi malam Baginda bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas
terpendam harta karun yaitu emas dan permata yang tak ternilai harganya.
Namun,
setelah mereka terus menggali ternyata emas dan permata itu tidak
ditemukan. Dan Baginda juga tidak meminta maaf kepada Abu Nawas atas
kerugian yang ditimbulkan yakni kediaman Abu Nawas yang porak-poranda.
inilah yang membuat Abu Nawas memendam dendam.
Lama
Abu Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan carat untuk
membalas perbuatan baginda yang semena-mena. Dan, walhasil dampak
kejadian itu membuat Abu Nawas kehilangan selera makan bahkan menu
sarapan pagi yang sederhana namun lezat yang dihidangkan oleh istrinya
tidak dimakan. Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak.
Menjelang makan malam, sewaktu makanan dihidangkani ia melihat
lalat-lalat mulai menyerbu bekas sarapan pagi Abu Nawas yang sudah basi.
la tiba-tiba tertawa riang.
“Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi.” Abu Nawas berkata kepada istrinya.
“Untuk apa?” tanya istrinya heran.
“Membalas
Baginda Raja.” kata Abu Nawas singkat. Dengan muka berseri-seri Abu
Nawas berangkat menuju istana. Setiba di istana Abu Nawas membungkuk
hormat dan berkata,
“Ampun
Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan
tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba tanpa ijin
dari hamba dan berani memakan makanan hamba.” jelas Abu Nawas.
“Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?” sergap Baginda kasar.
“Lalat-lalat ini, Tuanku.” kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya.
“Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil ini.” kata Abu Nawas.
“Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?” tanya Baginda.
“Hamba
hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa
dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu.” jelas Abu Nawas.
Baginda
Raja tidak bisa mengelakkan diri menotak permintaan Abu Nawas karena
pada saat itu para menteri sedang berkumpul di istana. Maka dengan
terpaksa Baginda membuat surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas
memukul lalat-lalat itu di manapun mereka hinggap.
Tanpa
menunggu perintah Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya
hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan tongkat besi yang
sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan
memukuli lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di kaca, vas bunga, patung
hias dan perabot milik raja lainnya raja.
Abu
Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas bunga
yang indah, kemudian giliran patung hias sehingga sebagian dari istana
dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas. Bahkan Abu
Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan hinggap di tempayan
Baginda Raja.
Baginda
Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah
dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya. Dan setelah merasa puas,
Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda banyak yang
hancur.
Bukan
hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu. Kini ia sadar betapa
kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas. Abu Nawas yang nampak lucu
dan sering menyenangkan orang itu ternyata bisa berubah menjadi garang
dan ganas serta mampu membalas dendam terhadap orang yang mengusiknya.
Abu
Nawas pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu di
rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari istana.