Dia adalah Abu Ali Hasan bin Hani’ al-Hakami, seorang penyair yang sangat masyhur pada zaman Bani Abbasiyyah.
Kepiawaiannya dalam menggubah qoshidah syair membuat dia sangat terkenal
di berbagai kalangan, sehingga dia dianggap sebagai pemimpin para
penyair di zamannya.
Namun amat disayangkan, perjalanan hidupnya banyak diwarnai dengan
kemaksiatan, dan itu banyak juga mewarnai syair-syairnya. Sehingga
saking banyaknya dia berbicara tentang masalah khamr, sampai-sampai kumpulan syairnya ada yang disebut khamriyyat.
Abu Amr Asy-Syaibani berkata, “Seandainya Abu Nuwas tidak mengotori
syairnya dengan kotoran-kotoran ini, niscaya syairnya akan kami jadikan
hujjah dalam buku-buku kami.”
Bahkan sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai orang yang zindiq
meskipun pendapat ini tidak disetujui oleh sebagian ulama. Di antara
yang tidak menyetujui sebutan zindiq ini untuk Abu Nuwas adalah Imam
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (14:73),
ketika menyimpulkan tentang kehidupan Abu Nuwas beliau berkata,
“Kesimpulannya, para ulama banyak sekali menceritakan peristiwa
kehidupannya, juga tentang syair-syairnya yang mungkar,
penyelewengannya, kisahnya yang berhubungan dengan masalah khamr,
kekejian, suka dengan anak-anak kecil yang ganteng serta kaum wanita
sangat banyak dan keji, bahkan sebagian orang menuduhnya sebagai pezina.
Di antara mereka juga ada yang menuduhnya sebagai seorang yang zindiq.
Di antara mereka ada yang berkata: ‘Dia merusak dirinya sendiri.’ Hanya
saja, yang tepat bahwa dia hanyalah melakukan berbagai tuduhan yang
pertama saja, adapun tuduhan sebgian orang yang zindiq, maka itu sangat
jauh dari kenyataan hidupnya, meskipun dia memang banyak melakukan
kemaksiatan dan kekejian.”
Akan tetapi, walau bagaimanapun juga disebutkan dalam buku-buku sejarah
bahwa dia bertaubat di akhir hayatnya; semoga memang demikian dan
menunjukkan taubatnya adalah sebuah syair yang ditulisnya menjelang
wafat:
Ya Allah, jika dosaku teramat sangat banyaknamun saya tahu bahwa pintu maaf-Mu lebih besarSaya berdoa kepada-Mu dengan penuh tadharru’ sebagaimama Engkau perintahkanLalu jika Engkau menolak tangan permohonanku, lalu siapa yang akan merahmati-kuJika yang memohon kepada-Mu hanya orang yang baik-baik sajaLalu kepada siapakah orang yang jahat akan memohonSaya tidak mempunyai wasilah kepada-Mu kecuali hanya sebuah pengharapanJuga bagusnya pintu maaf-Mu kemudian saya pun seorang yang muslim
Semoga Allah menerima taubatnya dan memaafkan kesalahannya, karena
bagaimanapun juga dia mengakhiri hidupnya dengan taubat kepada Allah.
Dan semoga kisah yang diceritakan oleh Ibnu Khalikan dalam Wafyatul-A’yan 2:102
benar adanya dan menjadi kenyataan. Beliau menceritakan dari Muhammad
bin Nafi berkata, “Abu Nuwas adalah temanku, namun terjadi sesuatu yang
menyebabkan antara aku dengan dia tidak saling berhubungan sampai aku
mendengar berita kematiannya. Pada suatu malam aku bermimpi bertemu
dengannya, kukatakan, ‘Wahai Abu Nuwas, apa balasan Allah terhadapmu?’
Dia menjawab, ‘Allah mengampuni dosaku karena beberapa bait syair yang
kututlis saat aku sakit sebelum wafat, syair itu berada di bawah
bantalku.’ Maka saya pun mendatangi keluarganya dan menanyakan bantal
tidurnya dan akhirnya kutemukan secarik kertas yang bertuliskan: … (lalu
beliau menyebutkan bait syair di atas).”
Setelah mengetahui sekelumit tentang Abu Nuwas, marilah kita beranjak
utuk membahas siapakah sebenarnya Khalifah Harun Al Rasyid.
Beliau adalah Amirul-Mukminin Harun Al Rasyid bin Mahdi al-Qurasyi
al-Hasyimi. Beliau adalah salah satu Khalifah Bani Abbasiyyah, bahkan
pada masa beliaulah Bani Abbasiyyah mencapai zaman keemasannya.
Beliau dikenal sebagai raja yang dekat dengan ulama, menghormati ilmu,
dan banyak beribadah serta berjihad. Disebutkan dalam berbagai buku
sejarah yang terpercaya bahwa beliau selalu berhaji pada suatu tahun dan
tahun berikutnya berjihad, begitulah seterusnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Perjalanan hidup beliau sangat bagus.
(Beliau) seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah
haji. Setiap hari beliau bershodaqoh dengan hartanya sendiri sebanyak
seribu dirham. Kalau pergi haji beliau juga menghajikan seratus ulama
dan anak-anak mereka, dan apabila beliau tidak pergi haji, maka beliau
menghajikan tiga ratus orang. Beliau suka sekali bershodaqoh. Beliau
mencintai para ulama dan pujangga. Cincin beliau bertuliskan kalimat La ilaha ilallah,
beliau mengerjakan shalat setiap harinya seratus rakaat sampai
meninggal dunia. Hal ini tidak pernah beliau tinggalkan kecuali kalau
sedang sekit.” (Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 14:28)
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ammar bin Laits al-Wasithi berkata, ‘Saya
mendengar Fudhail bin Iyadh berkata, ‘Tidak ada kematian seorang pun
yang lebih memukul diriku melebihi kematian Amirul-Mukminin Harun Al
Rasyid. Sungguh saya ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa
umurku.’ Ammar berkata, ‘Perkataan beliau ini terasa berat bagi kami,
namun tatkala Harun telah meninggal dunia, muncullah fitnah, khalifah
setelahnya yaitu Al-Makmun memaksa orang-orang untuk meyakini bahwa
Alquran makhluk. Saat itu kami mengatakan, ‘Syaikh (Fudhail) lebih
mengetahui tentang apa yang beliau katakan’.”
Beliau sangat keras terhadap orang yang menyimpang dari sunah dan
berusaha menentangnya. Pada suatu ketika Abu Mu’awiyah menceritakan
kepada beliau sebuah hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi Adam dan Musa
berdebat, maka paman Khalifah Harun Al Rasyid berkata, “Wahai Abu
Mu’awiyyah, kapan keduanya bertemu?” Maka Khalifah sangat marah seraya
berkata, “Apakah engkau menentang hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Ambilkan sebilah pedang dan tempat pemotongan kepala.” Maka segeralah
yang beliau minta itu didatangkan. Orang-orang yang hadir saat itu pun
memintakan maaf untuk paman beliau tersebut. Berkatalah Harun Al Rasyid,
“Ini adalah perbuatan zindiq.” Akhirnya beliau memerintahkan untuk
memenjarakannya. Sebagian orang juga pernah bercerita, “Saya masuk
menemui Harun Al Rasyid dan saat itu ada seseorang yang barusan
dipenggal kepalanya dan algojo sedang membersihkan pedangnya. Maka Haru
Al Rasyid berkata, ‘Saya membunuhnya karena dia berkata bahwa Alquran
itu makhluk’.”
Beliau sangat mencintai nasihat yang mengingatkan diri pada hari
akhirat. Al-Ashma’i berkata, “Pada satu hari Harun Al Rasyid
memanggilku. Saat itu dia menghiasi istana, membuat hidangan yang banyak
dan lezat, lalu dia memanggil Abu Al-Atahiyyah, lalu Harun berkata
kepadanya, “Sifatilah kenikmatan dan kesenangan hidup kami.” Maka Abu Al
Athiyah menyenandungkan sebuah syair:
Hiduplah semaumuDi bawah naungan istana nan megahmuEngkau berusaha mendapatkan apa yang engkau senangiBaik pada waktu sore maupun pagiNamun, apabila jiwa tersengal-sengalKarena sempitnya pernapasan dalam dadaSaat itu berulah engkau tauBahwa selama ini engkau sedang tertipu
Harun Al Rasyid pun langsung menangis sejadi-jadinya, sehingga Fadhi bin
Yahya berkata, “Amirul-Mukminin memanggilmu agar engkau bisa membuatnya
senang, tetapi engkau malah membuatnya susah.” Maka Harun Al Rasyid
berkata, “Biarkan dia, dia melihat kita sedang kebutaan dan dia tidak
ingin kita semakin buta.”
Suatu saat lainnya, Harun Al Rasyid memanggil Abu Al Atahiyyah lalu
berkata, “Nasihatilah saya dengan sebuah bait syair.” Maka Abu Al
Athiyah berkata,
Jangan engkau merasa aman dari kematian sekejap mata punMeski engkau mempunyai para penjaga dan para pasukanKetahuilah bahwa panah kematian pasti tepat sasaranMeski bagi yang membentengi diri darinyaEngkau ingin selamat namun tidak mau mengikuti jalannyaBukankan sebuah bahtera tidak akan mungkin berlayar di jalan rayaBegitu mendengarnya, Harun Al Rasyid pun langsung jatuh pingsan.
Inilah sekilas tentang kehidupan Khalifah Harun Al Rasyid meskipun kita
mengakui bahwa sebagai manusia biasa beliau pun banyak memiliki cacat
dan kemaksiatan. Namun keutamaan dan kebaikan beliau jauh melebihi cacat
yang beliau kerjakan. Sampai-sampai Syaikh Abu Syauqi Khalil menulis
buku berjudul Harun Al Rasyid Amirul-Khulafa wa Ajallu Mulukid-Dunya (Harun
Al Rasyid Pemimpin Para Khalifah dan Raja Dunia Teragung) yang mana
buku ini banyak dipuji oleh Syaikh Masyhur Salman dalam beberapa tempat
di dalam buku Kutubun Hadzdzara minha Ulama.