Ilahi lastu lil firdausi ahla wala aqwa ‘alan naril jahimi fahabli taubatan wagfir dzunubi fainnaka ghafiru dzambil ‘adhimi
Wahai Tuhanku aku bukanlah ahli surga firdausNamun aku takkan kuat menahan panasnya api nerakaMaka terimalah tobatku dan limpahkanlah ampunan atas dosakuKarena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar
LIRIK syair di atas sangatlah populer, utamanya di
kalangan penyanyi dan penikmat lagu-lagu nasyid. I’tiraf atau pengakuan
adalah judul yang diberikan kepada syair di atas. Mayoritas tim nasyid
melantunkan dan menggubah lirik itu sedemikian rupa dalam album
rekamannya, seperti Raihan, Mupla, dan banyak lagi.
Itulah syair yang dikenal sebagai warisan
penyair superpopuler Irak, Abu Nawas. Meskipun ada juga pendapat, bahwa
syair itu bukanlah gubahan Abu Nawas, tapi karya seorang sahabat
Rasulullah Saw, Abdullah bin Rawahah.
Menurut sebuah riwayat, Abdullah bin Rawahah saat ingin menjumpai
sahabatnya, Abdurrahman bin Auf. Setiba di rumah Abdurrahman, istri
Abdurrahman membuka pintu dan betisnya terlihat karena hembusan angin
yang mengingkap busananya.
Kejadian itu membuat Abdullah bin Rawahan jatuh pingsan karena merasa
kaget dan berdosa. Setelah sadar, ia mengasingkan diri di sebuah
perbukitan. Selama tiga hari, ia baru ditemukan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya, ketika terdengan syair Al-I’tiraf dari Abdullah bin
Rawahah. Sumber lain menyebutkan, syair itu adalah karya Syekh
Al-Sya’roni.
Terlepas dari mana yang benar, yang jelas Abu Nawas (sering pula
disebut Abu Nuwas) adalah legenda, bernama asli Abu Hani Muhammad bin
Hakam. Sastrawan dan penyair humoris ini diyakini hidup masa
pemerintahan Khilafah Abbasiyah (786-890 M), era pemerintahan Sultan
Harun Al-Rasyid Al-Abassi, dan meninggal di Bagdhad tahun 810 M. Ia
dilahirkan di kota Al-Ahwaz, Persia, dan dibesarkan di Kota Basrah,
Irak.
Nama Abu Nawas berarti “Bapak Si Rambut Ikat”, merujuk pada dua
ikatan rambut panjangnya yang sampai sebahu. Semasa kecil, Abu Nawas
“dijual” oleh ibunya kepada seorang penjaga toko dari Yaman, Sa’ad
al-Yashira.
Semasa remaja, ia bekerja di sebuah toko di Basrah, Irak. Saat
itulah, ketampanan dan kecerdasannya menarik perhatian seorang penyair
berambut pirang, Waliban Ibnu Al-Hubab. Abu Nawas muda pun dibeli dan
dimerdekakannya. Al-Hubab mengajari Abu Nawas ilmu ketuhanan (teologi),
bahasa Arab, dan puisi. Abu Nawas lalu belajar juga kepada Khalaf
Al-Ahmar.
Popularitas Abu Nawas menanjak karena kejenakaan syair-syair yang
diciptakannya, sebuah gaya puisi yang bertentangan dengan tradisi syair
di gurun pasir saat itu, ditambah dengan perilakunya yang suka mabuk
(minum khamr) dan sejumlah syairnya yang mengeritik Al-Quran yang
mengharamkan khamr.
Demikianlah, sebelum mendapatkan hidayah dan bertobat, Abu Nawas
dikenal sebagai penyair kontroversial. Bahkan buku-buku sejarah menyebut
Abu Nawas sebagai sastrawan cabul dan kotor.
Dalam keadaan mabuk karena meminum khamr, sambil ‘mengigau’ atau berbucara tak karuan, ia sering menggubah puisi yang membangga-banggakan minuman keras (puisi khumrayat). Ia sering keluar masuk penjara karena puisi-puisinya itu.
Karena karya-karya dan perilakunya yang tidak bermoral, sebagian
ulama saat itu berpendapat, Abu Nawas adalah fasik (pelaku maksiat)
bahkan kafir. Simak saja sebuah bait syairnya:
“Aku menyukai apa-apa yang Al-Quran larang
Dan aku menjauhkan diri dari apa-apa yang dibolehkannya”
Tidak hanya itu, Abu Nawas juga disebut-sebut sebagai gay,
homoseksual, hal yang terasa asing di telinga kita. Tapi sebuah bait
syarinya mengatakan demikian, misalnya: “Demi seorang pria muda, aku rela tinggalkan wanita”.
Namun demikian, Abu Nawas pernah kawin dengan salahsatu wanita yang
masih familinya, tapi keesokan harinya perempuan itu diceraikannya
karena ia tidak mencintainya. Abu Nawas juga diceritakan pernah
mencintai seorang perempuan, bernama Jinan. Sayang, cintanya tak sampai.
TIDAK MAU JADI LALAT
Kehidupan Abu Nawas berubah total menjadi Islami, menurut suatu riwayat,
setelah suatu malam, pada bulan Ramadhan (diyakini sebagai Malam
Qodar), dalam keadaan “teler” ia didatangi seseorang tak dikenal. Orang
itu berkata: “Ya Abu Hani! Idza lam takun milhan tuslih, fala takun zubabatan tufsid”. Artinya, “Hai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikan merusak hidangan itu”.
Kata-kata itu sangat berkesan pada diri Abu Nawas. Ia menyadari
kesalahannya selama ini, merasa dirinya bukan garam, tapi lalat. Ia pun
bertobat dan meninggalkan perilaku tidak Islaminya. Ia menjadi seorang
ahli ibadah, rendah hati, rajin i’tikaf di masjid, dan jarang berbicara.
Meski demikian, ia tetap menggubah syair. Namun, syair-syairnya
berganti warna, menjadi syair-syair dzikir dan senandung doa. Salah satu
karyanya yang paling terkenal hingga kini, dijadikan senandung di
pesantren-pesantren dan nasyid, adalah syair Al-I’tiraf di atas.
Menurut sebuah riwayat, suatu ketika, beberapa kawan Abu Nawas satu
“geng” dulu, mendatanginya saat sedang i’tikaf di sebuah masjid.
“Apa yang keluar dari bibirmu sekarang?” ejek kawan-kawannya.
“Ayat-ayat Al-Quran,” jawab Abu Nawas, kalem.
“Yang kau pikirkan di kepalamu?”
“Kemahaagungan Allah yang sudah mengubah manusia buruk seperti kalian menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang.”
“Kau habiskan malam-malammu dengan apa?”
“Dengan mendekatkan diriku yang hina dina ini kepada Dzat Yang Mahamulia, yaitu Allah SWT.”
“Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana?”
“Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh rahmat dan ampunan. Aku
tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya amat jelas,” kata
Abu Nawas.
SASTRAWAN JENAKA
Abu Nawas dikenal luas bukan saja di dunia Islam, tapi juga dunia Barat.
Kisah-kisah jenakanya sangat digemari berbagai kalangan. Hebatnya,
kisah lucu Abu Nawas seakan tak pernah habis.
Selalu ada cerita lucu yang baru hingga akhirnya ia dikenal dengan
seorang humoris yang sangat cerdas. Bahkan disebutkan, Khalifah Harun
Al-Rasyid yang dikenal sebagai khalifah Bani Abasiyah paling pintar, tak
pernah berhasil mengalahkannya.
Syair I’tiraf sendiri mengandung kejenakaan, tapi bukan senda-gurau.
Simak saja liriknya: “Aku bukanlah ahli surga firdaus, tapi bukan pula
orang yang kuat menahan panas api neraka”. Kalau diartikan secara
harfiah, doa itu memang agak lucu: masuk surga tak pantas, masuk neraka
tidak kuat.
Meski jenaka, dalam literatur Islam, Abu Nawas lebih dikenal sebagai
tokoh sastra dari pada seorang ‘pelawak’. Lebih dari itu, sebuah sumber
juga menyebutkan, ternyata petualangan Abu Nawas bukan dengan Harun
Al-Rasyid, melainkan dengan khalifah setelahnya, Muhammad Al-Amin, putra
Harun. Bahkan ada yang mengatakan, Abu Nawas tidak pernah bertatap muka
dengan Harun Al-Rasyid.
Terlepas dari mana yang benar, yang jelas Abu Nawas dikenal sebagai
sastrawan dan penyair terhebat pada masanya. Bahkan sejarahwan Ibnu
Arabi mengatakan, “Telah aku bandingkan syair Abu Nawas dengan yang
lain, ternyata tidak aku temukan syair seindah miliknya”.
Tidak banyak karya Abu Nawas yang bisa ditemukan. Pasalnya, lembaran-lembaran syairnya dibakar habis setelah ia bertobat.
“Aku takut setalah aku mati nanti, masih tersisa satu dari syairku.
Oleh karena itu aku membakarnya” kata Abu Nawas ketika ditanya oleh
salah seorang temannya. Apalagi Abu Nawas sendiri tidak pernah
mengumpulkan syair-syairnya. Wallahu a’lam. sumber :