Imam Ahmad Bin Hambal (164H-241 H)
Sejarah Singkat Imam Hanbali
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal. adalah Imam yang keempat dari
imam mujtahid arbaah. Beliau memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi.
Ahmad bin Hambal dilahirkan di Baghdad(iraq) pada bulan Rabiul Awal
tahun. Beliau termasyhur dengan nama kakeknya Hambali, kerana kakeknya
lebih masyhur dari ayahnya.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat
memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan
kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal
semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah
didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim
atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan
umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan
Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Beliau menghapal hadist hingga mencapai 700.000 hadist
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi
sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra
sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits
di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam
kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits
yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat
yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan
hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al
Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat,
sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena
ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Latar belakang pendidikan
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja.
Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama
yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal
dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat
seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya
antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik,
Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda
mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan
dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali
mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh
perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama.
Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah
dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pernikahan beliau
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang
putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan
Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun
meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang
jariyah, hamba sahaya wanita
bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said
Keperibadian beliau yang begitu rupawan
Beliau adalah orang yang zuhud lagi dermawan
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan
dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi
sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ”Hampir setiap
hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia
lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,” katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli
fikih, berkata, ”Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku
diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ‘Ini adalah rezeki
yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.”’
Beliau orang yang teguh pendirian
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa
hidupnya, aliran Mu’tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma’mun
dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi
negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan
penganut Mu’tazilah adalah paham Al-Qur’an merupakan makhluk atau
ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun
dipenjara dan disiksa oleh Mu’tasim, putra Al Ma’mun. Setiap hari ia
didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan
ayahnya, Mu’tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali
menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati
kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam
penjara.
Pengajaran beliau
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al
Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya.
Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok
belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam
Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu
Zur’ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar
Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi’i, Hanafi dan Maliki, oleh para
muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam
amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai
pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada
masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.
Pengikut mazhab imam hanbali
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada
lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa
madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Jika ia menemukan
nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak
berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak
ada yang menentangnya.
Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat
yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Jika
ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur’an
dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi
mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak
disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun
bukan ‘maudu’, atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif
didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias
digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad
ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi
pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan
Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak
orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya
dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam
di kawasan Timur Tengah.
---------------------------------------------------Hasil karya----------------------------------------------------
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan
keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain
Tafsir Al-Qur’an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur’an, At Tarikh,
Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad
Ahmad bin Hanbal.
Nasab dan Kelahiran-nya
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin
Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas
bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah
adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada
diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan
nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota
Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau
dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang
paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika
beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke
wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan
Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani
‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah.
Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya,
Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan
penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah
meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah
mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan
harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan
keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap
mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu
mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu,
kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh
dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta
penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’,
ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di
al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke
ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan
tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau
dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap
memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan.
Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera
pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera
mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan
berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan
mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang
pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf,
murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16
tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari
syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan
mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy
hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau
bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits
lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke
Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling
menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama
perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i.
Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i
sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau
rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi
sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin
‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan
lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik,
tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan
saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah
menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Sebuah Catatan Kecil
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan
ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam
hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada
orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah
mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau
menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur).
Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang
senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi
fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum
muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya,
mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama
yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau,
Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
al-Atsram, dan lain-lain.
Bersambung Kekisah Ke-empat
Berisi tentang wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal
Setelah Kekuasan Berpindah Kepada Al-amin (Rasionalis)
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah
menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya,
tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana
dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid
berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy
mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah
menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan
cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah
ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok
Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi
al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke
tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran,
al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian
tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan
bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan
warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan
pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak
dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama
tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat
kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap
konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah,
bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad
dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun
akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin
Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam
Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah
sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa
Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya,
al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan
pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut;
dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara
lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka
mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu
membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya
beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke
dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an
bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam
keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk
mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah.
Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam
dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras
dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad
dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan
kokohnya.
Sakit dan Wafatnya Imam Ahmad Bin Hanbal
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke
rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh
dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan
pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda
dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang
dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan
Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan
cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul
bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak
keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat
jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai
al-Watsiq meninggal tahun 232.
Semakin Bertambah Ujian Beliau
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya.
Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran
masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian
tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas
pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang
melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli
hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka
demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman
itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan
kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya
disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar
bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar
sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka
berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan
menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan
hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada
rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin
bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut
mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang
mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang,
bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang
menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang
hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka
kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada
ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada)
hari kematian kami”.
---------------------------------------------------------------Ringkasan--------------------------------------------------
Sebuah catatan Kecil
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad.
Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali
oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap
seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran.
Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu,
maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau
sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata
menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini
lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar
as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada
awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
demikian kisah singkat al imam Hambali ra. semoga kita bisa mengambil
manfaat dr beliau. amiin...
http://ashakimppa.blogspot.sumber :/2011/12/kisah-imam-hambali-ra.html